Minggu, 04 September 2011

Penghamparan campuran beraspal


Penghamparan campuran beraspal dilakukan dengan alat penghampar mekanis bermesin (finisher). Secara garis besar pemeriksaan yang dilakukan pada saat penghamparan adalah  :
a)    Pemeriksaan kesiapan alat penghampar
  •  Roda atau rantai baja (tracks) terpasang dengan baik. Tekanan roda yang kurang atau pemasangan rantai baja yang  kurang kencang dapat mengganggu pergerakan finisher dan berakibat hasil penghamparan tidak merata.
  • Roda pendorong (push roller) harus bersih dan dapat berputar dengan baik sehingga truk dan alat penghampar dapat bergerak beriringan.
  •  Penampung (hopper), sayap-sayap (wing hopper), penyalur (conveyor), pintu masukan penampung (flow gates), dan ulir pembagi (augers/screw) harus dapat bekerja dengan baik untuk menjaga kontinuitas aliran campuran beraspal. Kontinuitas aliran campuran beraspal yang terlalu sedikit atau berlebih dapat mempengaruhi tekstur dan keseragaman campuran.
  •   Pelat sepatu (screed) harus dipanaskan pada awal operasi, untuk mencegah hasil penghamparan yang tampak kasar dan bertekstur terbuka.
  • Tinggi jatuh pemadat tumbuk  dan pemilihan frekuensi penumbuk getar akan mempengaruhi tekstur permukaan yang diperoleh.

b)    Pemeriksaan campuran beraspal secara visual
Beberapa indikasi dari penyimpangan campuran beraspal dapat dilihat secara visual dan diperiksa sebelum dilakukan penghamparan, yaitu :
  •  Berasap biru;  asap biru yang keluar dari campuran berasapal  di atas truk pengangkut atau  terlihat pada pemasok (hopper) alat penghampar mengindikasikan  terjadinya kelebihan panas (overheating).
  • Campuran beraspal tampak kaku;  tampak visual campuran beraspal yang kaku mengindikasikan  campuran tersebut telah dingin.
  • Permukaan campuran beraspal  di atas bak truk tampak rata; pada umumnya permukaan campuran beraspal di atas bak truk membentuk  bukit. Jika permukaan tersebut terlihat rata, maka kemungkinan campuran beraspal kelebihan aspal atau kadar air. 
  • Campuran beraspal tampak kering / berwarna coklat;  campuran yang mengandung terlalu sedikit aspal biasanya tampak kering dan berwarna kecoklatan.
  • Campuran beraspal  beruap;  campuran beraspal masih mengandung kadar air. Kelebihan kadar air juga akan menyebabkan campuran beraspal terlihat seperti kelebihan aspal.
  • Segregasi;  segregasi mungkin terjadi akibat kesalahan penanganan.
  • Terkontaminasi; campuran beraspal dapat terkontaminasi  solar yang disemprotkan pada dasar bak truk.  Campuran beraspal juga dapat terkontaminasi  plastik atau lainnya.

c)    Pelaksanaan penghamparan
Jika diperlukan pengaturan screed (perubahan ketebalan), maka harus dilakukan  secara bertahap.  Jika diperlukan penambahan lebar penghamparan, maka pada bagian pelebaran tersebut harus terjangkau ulir pembagi untuk menghindari terjadinya segregasi.
Pekerjaan manual dengan penebaran hanya boleh dilakukan jika penghamparan dengan alat finisher  sulit atau tidak bisa dilakukan dengan baik.  Penebaran dengan tangan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya segregasi.
Selama pelaksanaan penghamparan  harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  • Temperatur campuran beraspal harus diperiksa pertama kali di atas truk, kemudian di periksa kembali  setelah penghamparan sebelum pemadatan.
  • Tekstur permukaan harus seragam dan baik. Tekstur yang kurang baik dapat disebabkan oleh campuran beraspal terlalu dingin,  jika terjadi pada awal penghamparan kemungkinan pelat screed tidak dipanaskan.
  •  Kerataan permukaan harus sesuai.  Penghamparan yang  tidak menerus dapat menyebabkan permukaan tidak rata pada sambungan.  Gradasi yang tidak sesuai,  perubahan kecepatan penghamparan, dan dorongan dari truk saat pengisian juga dapat menyebabkan permukaan tidak rata.
  • Kemiringan melintang dan memanjang harus diperhatikan terlebih pada daerah tikungan
  • Sambungan melintang dan memanjang harus dibuat tegak lurus.  Metoda yang dilakukan dapat berupa pemotongan sambungan sebelum dimulainya penghamparan, atau  dengan menaruh balok atau kertas pada bagian sambungan. 

Unit pencampur aspal (Asphalt Mixing Plant, AMP)



Selama produksi campuran beraspal panas di AMP beberapa hal pokok yang digunakan sebagai acuan operasionil adalah seperti diuraikan di bawah ini.

  Bin dingin (cold bins)

Jenis bin dingin (cold bins) yang umum dikenal adalah : (1) ban berjalan menerus, (2) getar, dan (3) aliran. Jenis pertama (ban berjalan menerus) cocok untuk agregat halus, sedangkan yang lainnya cocok untuk agregat kasar.  Kontinuitas aliran material  dari bin dingin ini sangat berpengaruh terhadap produksi campuran beraspal, untuk itu perlu pengendalian mutu yang ketat pada bin dingin. Pemeriksaan agregat pada bin dingin meliputi  :
a)    Tidak ada perubahan gradasi agregat.  Perubahan gradasi dapat disebabkan karena perbedaan quari atau suplier.  Jika terjadi perubahan gradasi agregat, maka harus dilakukan pembuatan FCK/JMF  kembali. 
b)    Agregat tidak bercampur.  Pencampuran agregat antar bin yang berdekatan dapat dicegah dengan membuat pemisah yang cukup dan pengisian tidak berlebih. Pengisian yang baik dimungkinkan jika ukuran bak (bucket) loader lebih kecil dari  bukaan mulut bin dingin.
c)    Kalibrasi bukaan bin dingin secara periodik.
d)    Bukaan bin dingin kadang-kadang tersumbat, misalnya jika agregat halus basah, agregat terkontaminasi tanah lempung, atau penghalang lain yang tidak umum seperti  batu dan kayu.
e)    Perubahan kecepatan ban berjalan, dan ada operator yang mengontrol aliran agregat dan membuang material yang tidak perlu.

Pengering (dryer)

Pengering (dryer) mempunyai fungsi; (1)  menghilangkan kandungan air pada agregat, dan (2)  memanaskan agregat sampai suhu yang disyaratkan. Pemeriksaan yang diperlukan pada bagian ini adalah :
a)     Kalibrasi  alat pengukur suhu
b)     Pemeriksaan suhu agregat yang dipanaskan
c)     Pengamatan pada asap yang keluar dari cerobong asap. Jika asap berwarna hitam berarti pembakaran yang terjadi tidak sempurna. Sementara jika asap berwarna putih berkabut (mengandung uap air) berarti agregat basah dan ada kemungkinan kadar air masih tertinggal setelah proses pengeringan.

Unit saringan panas (hot screen)

Umumnya pada proses penyaringan ini terjadi pelimpahan agregat, misalnya yang semestinya masuk ke hot bin I tetapi terbawa ke hot bin II. Pelimpahan ini pada kondisi normal  terjadi kurang dari 5 % dan cenderung konstan sehingga tidak terlalu mengganggu  kualitas produksi.  Akan tetapi prosentase tersebut dapat bertambah jika; lubang saringan tertutup agregat, kecepatan produksi tidak berimbang dengan kecepatan penyaringan,  agregat halus basah/menggumpal, dan lubang-lubang pada saringan sudah ada yang rusak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada bagian ini adalah :
a)    Pemeriksaan harian secara visual  pada kebersihan dan kondisi saringan
b)    Pengontrolan  gradasi agregat 

Bin panas (hot bins)

Jika agregat halus masih menyisakan kadar air setelah pemanasan,  maka agregat yang halus (debu) akan menempel dan menggumpal pada dinding hotbin  dan  akan jatuh setelah cukup berat. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan kecil pada gradasi agregat, yaitu penambahan material yang lolos saringan No. 200.  Kebocoran-kebocoran yang mungkin terjadi pada hot bins juga perlu diperhatikan.

Penimbangan (weigh hopper)

Pada bagian ini operator AMP sangat berperan. Jika keseimbangan waktu pencapaian berat tiap bin panas sulit tercapai, maka operator harus membuang agregat tersebut dan melakukan pemeriksaan aliran material mulai dari bin dingin.  Akan tetapi  jika ketidak seimbangan waktu tersebut dipaksakan terus berjalan, maka dapat dipastikan akan terjadi penyimpangan gradasi akibat proporsi  masing-masing bin panas tidak sesuai.  Aliran agregat yang tidak seragam juga dapat menyebabkan temperatur campuran menjadi bervariasi.   Pemeriksaan yang dilakukan pada bagian ini adalah :
a)    Kalibrasi timbangan, termasuk timbangan aspal
b)    Kotak timbangan (weigh box)  tergantung bebas
c)    Kontrol harian terhadap kinerja  operator  AMP

Pencampur (mixer / pugmill)

Dalam pugmill terjadi dua tipe pencampuran, yaitu pencampuran kering dan pencampuran basah (setelah ditambah aspal).  Lamanya pencampuran kering diusahakan sesingkat mungkin untuk meminimalkan degradasi agregat, umumnya 1 atau 2 detik. Pencampuran basah juga diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari degradasi dan oksidasi atau penuaan (aging). Umumnya lamanya waktu pencampuran total  sekitar 30 detik.  Pemeriksaan yang dilakukan pada bagian ini adalah :
a)    Temperatur aspal  (pada tangki aspal)
b)    Lamanya pencampuran
c)    Pedal tip (pengaduk) tidak aus atau patah
d)    Tutup pugmill tidak bocor

Tempat penimbunan agregat dan penampungan aspal


Metoda penanganan agregat di tempat penimbunan mempunyai pengaruh besar pada perbedaan volumetrik campuran antara FCK (JMF) dengan pelaksanaan.  Segregasi yang terjadi selama proses penumpukan, pemindahan, dan  terkontaminasinya agregat dengan tanah sering dijumpai di beberapa proyek jalan.  Bahan agregat yang ada di tempat penimbunan harus dijamin mempunyai sifat-sifat fisik dan gradasi yang sesuai dengan persyaratan dan sesuai dengan formula campuran kerja (FCK). Pemeriksaan pada tempat penimbunan agregat meliputi :

a)  Kebersihan agregat, terutama kebersihan pasir.
b)  Bentuk agregat kubikal, tidak pipih, dan keras
c)  Agregat tidak mengalami segregasi atau degradasi.
d)  Agregat tidak tercampur dan tidak terkontaminasi tanah lempung dan bahan lainnya.
Pengujian mutu aspal seharusnya dilakukan secara berkala terhadap aspal yang baru datang sebelum dimasukkan ke dalam tangki (ketel) penyimpanan, namun hal ini tidak pernah/jarang sekali dilakukan, padahal aspal yang digunakan belum tentu seluruhnya memenuhi persyaratan, adakalanya beberapa parameter mutu aspal tidak terpenuhi seperti titik lembek dan penetrasi. Dengan mutu aspal yang tidak memenuhi persyaratan akan mengakibatkan perkerasan beraspal tidak  berumur sesuai rencana.  

Acuan operasionil pekerjaan campuran beraspal panas


Proses pekerjaan campuran beraspal panas pada prinsipnya dimulai dari pemenuhan persyaratan manajemen dan teknis di atas dan kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah operasionil seperti pembuatan formula campuran kerja, FCK (job mix formula, JMF),  kegiatan rutin di unit pencampur aspal (Asphalt Mixing Plant, AMP) dan kemudian kegiatan penghamparan dan pemadatan di lapangan.  Bagan alir pekerjaan campuran beraspal diperlihatkan dibawah ini
Tahapan-tahapan seperti diperlihatkan pada Gambar 1 tersebut kemudian diuraikan dengan lebih jelas pada pasal-pasal berikutnya.
Kegiatan :

Periksa 1
-   FCK / JMF telah disetujui (lihat Pasal 5.1)
-   peralatan baik dan laik pakai (AMP, alat penghampar dan alat pemadat)
-   bahan tersedia dalam jumlah cukup dan telah memenuhi syarat
kegiatan 2
-  tidak diperkenankan bekerja pada saat turun hujan
kegiatan 3
-   lihat Pasal 5.2.3.1
Periksa 4
-   pengatur dan pengaman lalu-lintas telah siap
kegiatan 5
-  lihat Pasal 5.2.2
kegiatan 6
-   lihat Pasal 5.2.3.2
kegiatan 7
-   lihat Pasal 5.2.3.3
Periksa 8
-   periksa toleransi ketebalan, kerataan kemiringan, kepadatan
kegiatan 9
-   perbaikan atau pembongkaran sesuai kondisi


maaf bagan alirnya belum bisa ditampilkan

SEISMOTEKTONIK WILAYAH INDONESIA


Wilayah Indonesia yang terletak di daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar dan sembilan lempeng tektonik kecil (Bird dkk, 2003) merupakan lempeng-tempeng yang yang menciptakan jalur-jalur subduksi dan jalur-jalur sesar yang terus aktif (Gambar dibawah), hal ini mengakibatkan kepulauan lndonesia memiliki aktivitas kegempaan tertinggi didunia.

Zona subduksi atau penunjaman dan sesar atau patahan, dengan ditambah informasi dari data geofisika, geodesi dan kegempaan selanjutnya dapat disebut sebagai zona sumber gempa bumi /seismic source zone (Algermisen et.al, 1982; Crouse, 1992; Adams dan Basham, 1994 ; Kertapati dkk, 2006). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suatu zona sumber gempa adalah suatu zona yang dapat diidentifikasi dari data geologi, geodesi, geofisika, dan dari aspek kegempaan sehingga mempunyai potensi untuk menimbulkan gempa bumi di waktu mendatang.


Hasil Analisa Hazard



Hasil dari analisa hazard probabilistik ini berupa peta percepatan di batuan dasar pada kondisi PGA, spektra 0.2 detik dan 1.0 detik untuk perioda ulang 2500 tahun atau 2% probabilitas terlampaui dalam 50 tahun umur rencana bangunan. Peta spektra ini bisa dilihat pada Gambar 1 s/d 3.

Hasil dari analisa respon spektra berupa peta percepatan di permukaan tanah pada spektra 0.2 detik dan 1.0 detik untuk 2500 tahun atau 2% probabilitas terlampaui dalam 50 tahun bisa dilihat pada Gambar 3 s/d 5 masing-masing untuk tanah klas-C (tanah keras atau batuan lunak), klas-D (tanah sedang/kaku) dan klas-E (tanah lunak). Untuk periode 1-detik bisa dilihat pada Gambar 7 s/d 9 masing-masing untuk tanah klas-C, klas-D dan klas-E.































Peta hasil studi PSHA untuk percepatan puncak (PGA), spektra 0.2 detik dan 1.0 detik di batuan dasar untuk periode ulang gempa 500 dan 2500 tahun digunakan sebagai usulan pengembangan peta gempa wilayah Indonesia yang sudah ada di SNI 03-1726-2002.

Nilai hazard seperti yang ada pada peta diatas menunjukkan bahwa akibat dari sumber gempa sesar/fault nilai hazard memberikan pengaruh yang besar pada daerah yang jaraknya dekat dengan sumber hal ini berdeba dengan peta gempa yang ada di SNI 03-1726-2002.

Secara umum nilai percepatan respon spektra disain semakin membesar sehubungan dengan kondisi tanah yang semakin lunak, kecuali pada nilai percepatan lebih besar dari 0.8g yang justru mengalami penurunan.

Peta respon spektra di permukaan tanah untuk periode pendek dan periode 1-detik berdasarkan pada IBC-2009 bisa digunakan sebagai pertimbangan perencanaan stuktur bangunan dan struktur jembatan untuk berbagai kondisi tanah.




Sabtu, 03 September 2011

Seismic Hazard Analysis


Analisa hazard gempa (seismic hazard analysis) yang digunakan adalah model Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) yang dikembangkan oleh Cornell (1968 dan 1971), kemudian dilanjutkan oleh Merz dan Cornell (1973). Teori ini mengasumsikan magnitude gempa M dan jarak R sebagai variabel acak independen yang menerus. Dalam bentuk umum teori probabilitas total ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
P[I ≥ i] = òròmP[I ≥ iôm dan r]fM(m).fR(r) dm dr

dimana:           fM         = fungsi kepadatan dari magnitude
                        fR         = fungsi kepadatan dari jarak hiposenter
P[I ≥ i | m dan r] = kondisi probabilitas acak intensitas I yang melampaui nilai i pada suatu lokasi akibat magnitude gempa M dan jarak hiposenter R.

Perhitungan PSHA dalam studi ini dilakukan dengan menggunakan software dari USGS (Harmsen, 2007) dan input parameter yang digunakan adalah seperti yang akan dijelaskan dalam model sumber gempa datas.

Besar nilai hazard ini didapat dari fungsi empirik dari hasil penelitian lapangan yang memberikan gambaran nilai penurunan percepatan gelombang gempa dari suatu sumber gempa sampai di site yang ditinjau. Fungsi ini disebut sebagai fungsi atenuasi. Nilai atenuasi ini tergantung pada: magnitude gempa, jarak ke site, mekanisme sumber gempa, kondisi tanah setempat dan kondisi model tektonik dari sumber gempa tersebut. Untuk wilayah Indonesia, pemilihan fungsi atenuasi berdasarkan pada model sumber gempa dan sebagian besar sudah menggunakan Next Generation Attenuation (NGA) dimana data gempa yang digunakan adalah data gempa global (worldwide data). Fungsi atenuasi untuk gempa shallow crustal (model sumber gempa shallow background dan fault) menggunakan Boore-Atkinson NGA (2008), Campbell-Bozorgnia NGA (2008) dan Chiou-Youngs NGA (2008). Sumber gempa subduksi interface (Megathrust) menggunakan Geomatrix subduction (Youngs et al, SRL, 1997), Atkinson-Boore BC rock & global source. (Atkinson & Boore, 2003) dan Zhao et al., dengan variabel Vs-30. (Zhao et al, 2006). Sumber gempa deep intraslab (model sumber gempa deep background) menggunakan AB intraslab seismicity Puget Sound region BC-rock condition (Atkinson and Boore, 1995), Geomatrix slab seismicity rock, 1997 (Youngs et al, 1997) dan AB 2003 intraslab seismicity world data region BC-rock condition. (Atkinson and Boore, 2003). Pemilihan fungsi  atenuasi ini didasarkan pada kesamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah dimana fungsi atenuasi itu dibuat.

Analisa respon spektra di permukaan ini didapat dari proses amplifikasai spektra hazard di batuan dasar dengan kecepatan geser (Vs-30 = 760 m/dt), dimana nilai amplifikasi didapatkan dari perbandingan nilai spektra kondisi Vs-30 = 760, 360,  180 dan 100 m/detik dimana kondisi ini menggambarkan batas antara tanah klas-B (batuan), klas-C (tanah keras atau batuan lunak), klas-D (tanah sedang/kaku) dan klas-D (tanah lunak). Analisa ini dilakukan dengan menggunakan atenuasi NGA yang sudah mempunyai fasilitas analisa dengan berbagai variabel Vs30.

Keselamatan Jalan


Berbicara keselamatan jalan, maka kita berbicara amanat dan tanggung jawab yang harus kita jalani sebagai penyelenggara jalan. Data Direktorat Lalu Lintas Polri menunjukkan bahwa jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di Indonesia meningkat cukup signifikan, dari sekitar 18.000 kejadian pada Tahun 2004 menjadi 63.000 kejadian pada Tahun 2009. Jumlah korban meninggal dunia juga meningkat hampir dua kali lipat, dari 11.000 jiwa pada Tahun 2004, menjadi hampir 20.000 jiwa pada Tahun 2009.
Data dari World Health Organisation seperti terungkap dalam Global Road Safety Report tahun 2009 mengatakan  bahwa lebih dari 50% dari korban meninggal dunia merupakan pengendara sepeda motor. Data tersebut semakin membuka mata kita bahwa permasalahan kecelakaan lalu lintas merupakan permasalahan tidak dapat kita abaikan. Kita juga dituntut untuk dapat mengakomodasi keselamatan pengendara sepeda motor dalam persyaratan teknis dan disain konstruksi jalan dan jembatan kita.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa penyebab kecelakaan terdiri dari berbagai faktor, antara lain faktor manusia, kendaraan, dan jalan/lingkungan. Dalam banyak kasus, kecelakaan diakibatkan oleh interaksi antar kedua atau ketiga faktor tersebut. Upaya mengurangi kecelakaan lalu lintas perlu dilakukan dengan menerapkan prinsip yang  sudah cukup kita kenal yaitu prinsip “3 E”, yaitu: Engineering, Education, dan Enforcement.  Prinsip-prinsip Engineering meliputi upaya-upaya teknik untuk menyediakan jalan yang berkeselamatan. Sedangkan Education meliputi upaya edukasi kepada masyakarat untuk dapat menggunakan jalan dengan baik dan sesuai aturan. Adapun Enforcement, merupakan tugas dari pihak Kepolisian untuk dapat menindak pengguna jalan yang melanggar peraturan.
Penerapan prinsip-prinsip engineering yang baik dan tepat kita harapkan mampu menekan angka kecelakaan akibat faktor infrastruktur jalan.
Perlu kita sadari bahwa keselamatan jalan bukan merupakan permasalahan yang dapat diselesaikan dalam satu hari, satu bulan, atau bahkan satu tahun. Permasalahan keselamatan jalan membutuhkan proses perbaikan dan peningkatan yang dilaksanakan secara terus menerus sehingga pada akhirnya kita dapat mencapai tujuan yang kita inginkan, yaitu mewujudkan jaringan jalan yang berkelanjutan dengan keselamatan yang memadai.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian dan kehati-hatian kita adalah adanya sanksi pidana bagi penyelenggara jalan dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas Angkutan Jalan, apabila ternyata kelalaian kita sebagai penyelenggara jalan ternyata menyebabkan kecelakaan bagi pengguna jalan. Hal ini patut menjadi pendorong bagi kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, hati-hati dan profesional dalam melaksanakan amanat yang diembankan kepada kita, baik itu dalam Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan, maupun dalam  Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas Angkutan Jalan